**Judul: “Puisi ‘Tanah Kami, Luka Kami’ Jadi Suara Perlawanan Rakyat Desa Ako terhadap Perampasan Lahan di Sulawesi Barat”**  

Spread the love

Pengawalkebijakan.id**Sulawesi Barat** – Sebuah puisi berjudul **”Tanah Kami, Luka Kami”** viral di media sosial dan menjadi simbol perlawanan warga Desa Ako, Sulawesi Barat, terhadap perampasan tanah ulayat oleh perusahaan. Puisi ini dirilis oleh **Komisi Daerah (KOMDA) Lembaga Pengawal Kebijakan Publik dan Keadilan (LP-K.P.K) Provinsi Sulawesi Barat**, menggambarkan penderitaan warga yang kehilangan hak atas tanah leluhur akibat operasi PT. Pasangkayu.

**Tanggal: 27 Juli 2025**

 

### **Jeritan Hati yang Terabaikan**

Puisi tersebut menyoroti konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun di Desa Ako. Dengan diksi pedas, puisi ini mengkritik ketidakadilan yang dialami warga:

 

*”PT. Pasangkayu datang dengan rakus,*

*Menerobos hutan, mengoyak batas tugas.*

*SATGAS PKH disingkirkan tanpa bicara,*

*Hutan dilukai, rakyat disingkirkan dari pusaka.”*

 

Menurut KOMDA LP-K.P.K, perusahaan tersebut diduga melakukan perluasan lahan secara paksa, mengabaikan hak masyarakat adat. Warga yang mencoba mempertahankan tanah justru dikriminalisasi.

 

*”Polres yang seharusnya melindungi,*

*Kini jadi alat untuk mengurung nurani.*

*Satu demi satu anak desa dijerat,*

*Dituduh, diadili, dicabut haknya tanpa syarat.”*

 

### **Pemerintah Dinilai Diam**

Puisi ini juga menyindir pembiaran oleh pemerintah daerah maupun pusat. Larik *”Pemerintah kabupaten, diam dalam dingin. Pemerintah provinsi, seolah tuli pada jerit anak negeri”* menunjukkan kekecewaan terhadap sikap aparat yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.

 

Faisal Rahim, salah satu perwakilan KOMDA LP-K.P.K, mengatakan, **”Puisi ini bukan sekadar karya sastra, tapi catatan sejarah tentang ketidakadilan yang terus berulang. Kami meminta pemerintah segera bertindak sebelum konflik ini memakan lebih banyak korban.”**

 

### **Respons dari Berbagai Pihak**

Sampai saat ini, PT. Pasangkayu belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan dalam puisi tersebut. Sementara itu, Kapolres setempat membantah adanya kriminalisasi terhadap warga, menyatakan bahwa semua proses hukum dilakukan sesuai aturan.

 

Di sisi lain, aktivis lingkungan dan HAM mendukung gerakan ini. **”Puisi ini membuka mata banyak orang. Rakyat kecil terus menjadi korban, sementara hukum hanya tajam ke bawah,”** ujar Maria Tondok, pegiat dari Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Barat.

 

### **Seruan Keadilan**

Puisi ini ditutup dengan seruan moral yang menggugah:

 

*”Bangkitlah keadilan!*

*Jangan biarkan tanah dan nyawa diperjualbelikan.*

*Rakyat Desa Ako bukan musuh negara,*

*Mereka hanya ingin hidup dengan hak yang semestinya.”*

 

KOMDA LP-K.P.K berharap puisi ini tidak hanya menjadi viral, tetapi juga mendorong tindakan nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria di Desa Ako.

 

**”Jika suara kami tak cukup keras, maka biarlah puisi ini menjadi prasasti perlawanan yang tegas,”** tulis mereka.

 

**Baca puisi lengkapnya di [Pengawalkebijakan.id](https://pengawalkebijakan.id)** atau ikuti perkembangan kasus ini melalui tagar **#SaveDesaAko**.

Dok. KOMDA LP-K.P.K Sulawesi Barat**

**Editor: Redaksi Pengawalkebijakan.id**  ELIASIB

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *