12 Oktober 2025
20251008_171326
Spread the love

pengawalkebijakan.id, MALANG – Suasana Mapolresta Malang Kota pada Rabu (8/10/2025) pagi kembali menjadi saksi babak baru dari saga hukum yang menyita perhatian publik. Sahara, pemilik rental mobil yang telah berseteru dengan mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mohammad Imam Muslimin (Yai Mim), hadir sekali lagi. Namun, kedatangannya kali ini bukan untuk menjalani pemeriksaan, melainkan untuk mengayunkan langkah balasan: melaporkan Yai Mim atas dugaan pelecehan seksual.

Laporan ini menambah runutan panjang laporan dan kontra-laporan antara kedua belah pihak, mengubah perseteruan yang awalnya bermula dari sengketa sewa mobil menjadi pertarungan hukum multidimensi yang penuh dengan tuduhan serius. Konflik ini, yang telah melebar ke ranah media sosial dan memicu perdebatan publik, kini memasuki fase yang semakin gelap dan kompleks.

Sahara tiba di Polresta Malang Kota sekitar pukul 10.30 WIB, didampingi oleh sang suami, Mohammad Shofwan, serta penasihat hukumnya, Moh. Zakki. Penampilan mereka terlihat serius dan fokus. Tidak seperti kedatangan-kedatangan sebelumnya yang mungkin melibatkan konferensi pers panjang, kali ini mereka memilih untuk bertindak cepat dan efisien. Setelah menyerahkan berkas dan memberikan keterangan singkat, mereka pun meninggalkan Mapolsta.

“Hari ini sesuai apa yang sudah sampaikan beberapa hari lalu, bahwa kami datang untuk melaporkan yang bersangkutan terkait pelecehan seksual,” ungkap Moh. Zakki, kuasa hukum Sahara, kepada para wartawan yang telah menunggu.

Zakki dengan tegas menegaskan bahwa laporan ini merupakan entitas yang terpisah dari laporan sebelumnya. “Ini laporan baru, karena kan laporan kami yang pertama terkait pencemaran nama baik dan fitnah. Kalau hari ini, kami datang dengan laporan pelecehan seksual,” tegasnya. Pernyataan ini sekaligus menandai eskalsasi signifikan dalam konflik ini, dari tuduhan yang berkaitan dengan reputasi (pencemaran nama baik) menuju tuduhan yang menyentuh ranah pidana dengan unsur fisik dan moral yang lebih berat.

Yang menarik dari pernyataan kuasa hukum Sahara adalah penekanannya pada fokus dan keinginan untuk menyelesaikan masalah. Zakki menyatakan bahwa laporan ini sengaja dilayangkan hanya kepada Yai Mim, tanpa ingin melibatkan pihak lain atau memperlebar konflik.

“Karena kami tidak mau melebar kemana-mana, kami ingin masalah ini cepat clear. Urusan prinsipel kami hanya kepada Pak Mim. Jadi kami tidak mau melebar ke mana-mana,” imbuh Zakki.

Kata “prinsipel” yang diucapkan Zakki mengisyaratkan bahwa bagi pihak Sahara, akar dari semua permasalahan ini terletak pada pribadi Mohammad Imam Muslimin. Dengan memfokuskan laporan pada Yai Mim, mereka berharap dapat memutus mata rantai konflik dan menemukan kejelasan hukum tanpa menyeret isu-isu lain yang dianggap tidak relevan. Namun, strategi ini justru mempertajam pertarungan personal di antara kedua tokoh sentral ini.

Akar konflik ini bermula dari transaksi sewa menyewa mobil antara rental milik Sahara dan Mohammad Imam Muslimin. Awalnya, persoalan tampak seperti sengketa konsumen biasa. Namun, ketidakpuasan dari salah satu pihak, diduga terkait biaya atau kondisi mobil, dengan cepat merambat menjadi perang di ruang publik.

Yai Mim, yang memiliki basis pengikut dan influence tertentu sebagai mantan dosen dan tokoh agama, disebutkan oleh pihak Sahara telah membuat pernyataan-pernyataan yang mencemarkan nama baik bisnis rental mobil mereka. Unggahan-unggahan di media sosial dari kedua belah pihak pun bertebaran, masing-masing membawa narasinya sendiri, hingga akhirnya viral dan menarik intervensi publik.

Sahara, yang merasa reputasi bisnis dan pribadinya terciderai, mengambil langkah hukum pertama dengan melaporkan Yai Mim ke pihak kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik dan fitnah. Laporan inilah yang menjadi pemicu awal serangkaian pemeriksaan dan bantah-membantah di ruang pengadilan publik maupun di ruang interogasi kepolisian.

Namun, Yai Mim tidak tinggal diam. Sebagai bentuk pembelaan dan serangan balik, dia juga telah melayangkan laporan terhadap Sahara. Detail laporan dari pihak Yai Mim ini belum sepenuhnya terkuak ke publik, tetapi hal ini menciptakan dinamika “sama-sama melapor” yang mengkarakteristikkan kasus ini. Kedua belah pihak sama-sama menjadi pelapor dan sekaligus terlapor (tersangka) dalam waktu yang berdekatan, sebuah fenomena yang dalam praktik hukum sering kali terjadi dalam konflik yang sangat personal dan sengit.

Laporan terbaru dari pihak Sahara mengenai dugaan pelecehan seksual ini membawa konflik ke level yang sama sekali berbeda. Tuduhan pelecehan seksual adalah tuduhan yang sangat sensitif, berpotensi menghancurkan reputasi, karir, dan kehidupan personal seseorang, terlepas dari hasil investigasi nantinya.

Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: kapan dan di mana dugaan pelecehan seksual ini terjadi? Apakah insiden ini terkait langsung dengan transaksi rental mobil, atau merupakan peristiwa terpisah yang kini diungkit seiring memanasnya konflik? Pihak kuasa hukum Sahara belum memberikan rincian fakta yang mendetail mengenai kronologi dan bentuk dari dugaan pelecehan tersebut. Mereka tampaknya memilih untuk menyerahkan proses pembuktian sepenuhnya kepada aparat kepolisian.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelecehan seksual diatur dalam beberapa pasal, termasuk Pasal 281 tentang perbuatan cabul, atau lebih spesifik lagi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS memberikan definisi yang lebih komprehensif tentang kekerasan seksual, yang mencakup tidak hanya kontak fisik tetapi juga non-fisik. Beban pembuktian atas laporan ini akan menjadi kunci untuk menentukan apakah dakwaan dapat ditingkatkan menjadi praperadilan atau bahkan persidangan.

Munculnya laporan pelecehan seksual di tengah-tengah sengketa hukum yang sudah berjalan menimbulkan beragam tafsir. Sebagian pengamat hukum mungkin memandangnya sebagai bagian dari strategi litigation (perang hukum) untuk memperkuat posisi tawar dan menekan lawan. Dalam konteks perseteruan yang sudah panas, melayangkan tuduhan berat dapat menjadi cara untuk mendiskreditkan kredibilitas lawan di mata hukum dan publik.

Di sisi lain, sangat mungkin juga bahwa laporan ini didasarkan pada fakta dan keyakinan yang kuat dari pihak Sahara. Korban pelecehan seksual seringkali membutuhkan waktu dan keberanian untuk melaporkan pengalamannya, dan konflik yang sedang berlangsung bisa menjadi pemicu untuk akhirnya bersuara. Motif dan waktu pelaporan memang sering kali dipertanyakan dalam kasus-kasus seperti ini, namun hal itu tidak serta merta mengabaikan kebenaran dari substansi laporan.

Yang pasti, kepolisian kini dihadapkan pada tugas yang semakin rumit. Mereka tidak hanya harus menginvestigasi dua laporan awal (pencemaran nama baik dari Sahara dan laporan dari Yai Mim), tetapi juga harus menangani laporan baru yang sangat sensitif ini. Integritas, profesionalisme, dan transparansi penyidik dalam mengungkap fakta objektif akan menjadi penentu utama dalam menyelesaikan simpul-simpul konflik yang semakin kusut ini.

Viralnya kasus ini di media sosial telah membelah opini publik. Pendukung setia Yai Mim, yang mungkin menganggapnya sebagai figur ulama atau cendekiawan, cenderung mempertanyakan motif di balik laporan pelecehan seksual ini, melihatnya sebagai upaya pemerasan atau pembalasan dendam. Mereka menunggu pembelaan dan klarifikasi dari sang mantan dosen.

Sementara itu, pihak yang bersimpati pada Sahara melihatnya sebagai korban dari penyalahgunaan influence dan kekuasaan. Bagi mereka, laporan pelecehan seksual ini adalah bukti nyata dari pola perilaku yang mungkin selama ini tersembunyi di balik status sosial Yai Mim.

Dampak terberat, terlepas dari hasil investigasi, telah dirasakan oleh kedua belah pihak. Reputasi Yai Mim sebagai mantan dosen dan tokoh agama tentunya tercoreng parah oleh tuduhan seberat ini. Di sisi lain, bisnis rental mobil Sahara juga tidak luput dari imbas negatif, terlibat dalam skandal panjang yang mungkin membuat calon pelanggan berpikir dua kali.

Dengan dilayangkannya laporan pelecehan seksual, bola kini sepenuhnya berada di di pengadilan kepolisian. Penyidik dari Polresta Malang Kota dituntut untuk bekerja secara cepat, akurat, dan adil. Mereka harus memeriksa semua pihak yang terlibat, mengumpulkan bukti-bukti baik elektronik maupun fisik, serta mendengarkan keterangan dari saksi-saksi kunci.

Babak selanjutnya yang akan ditunggu adalah pemeriksaan terhadap Yai Mim sebagai terlapor dalam laporan baru ini. Apakah dia akan memberikan versi cerita yang berbeda? Apakah pihaknya akan melayangkan laporan balik lagi sebagai bentuk pembelaan? Ataukah jalan damai di luar pengadilan masih mungkin diupayakan, meski dengan tuduhan yang sekarang semakin berat?

Satu hal yang pasti: drama hukum antara pemilik rental mobil dan mantan dosen UIN Malang ini telah melampaui batas-batas sengketa biasa. Kasus ini menjadi cermin betapa konflik di era digital dapat dengan cepat bereskalasi, di mana media sosial menjadi panggung, dan hukum menjadi senjata. Laporan pelecehan seksual pada Rabu pagi itu bukanlah akhir, melainkan justru pembuka dari babak yang paling menegangkan dan penuh ketidakpastian dalam saga “sama-sama melapor” ini. Publik hanya bisa menunggu, sementara para pihak bersiap untuk pertarungan hukum yang mungkin masih sangat panjang.

Redaksi pengawalk bijakan id ( medsos )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *