12 Oktober 2025
20251010_181231
Spread the love

PengawalKebijakan.id. KALSEL. Pada pagi Jumat, 10 Oktober 2025, kantor Polres Tanah Laut menjadi saksi sebuah peristiwa yang mempertanyakan fondasi pelayanan hukum bagi masyarakat biasa. M. Yusup, seorang warga, dengan didampingi oleh perwakilan Lembaga Pengawal Kebijakan dan Keadilan (LPKPK) Komisariat Cabang (Komcab) Tanah Laut, berusaha melaporkan dugaan penyerobotan lahan miliknya oleh PT Arutmin Indonesia Site Kintap. Namun, harapan untuk mendapatkan perlindungan hukum sirna seketika.

Tanggal: Jumat, 10 Oktober 2025

Lokasi:Tanah Laut, Kalimantan Selatan

LAPORAN YANG DITOLAK DAN PENCARIAN KEADILAN YANG TERHAMBAT

 

Laporan mereka ditolak oleh pihak Direktur Kriminal (Dirkrimum) Polres Tanah Laut. Alasan yang diberikan menuai protes dan tanda tanya besar: masyarakat diminta untuk membuat surat permohonan terlebih dahulu kepada Kapolres. Hanya setelah mendapatkan izin atau disposisi dari Kapolres, laporan tersebut baru akan diproses oleh Kasi Pidum.

 

Wakil Ketua LPKPK Komcab Tanah Laut, Fahrul Buchori, yang hadir mendampingi M. Yusup, menyatakan kekecewaannya yang mendalam. “Baru kali ini ada masyarakat mau bikin laporan disuruh minta izin ke Kapolres dulu. Apakah ada korelasinya antara surat yang diminta dengan keterkaitan pelayanan oleh lembaga kepolisian berkaitan laporan masyarakat?” tanyanya dengan nada tinggi.

 

Buchori melanjutkan kritiknya yang tajam, “Padahal sudah jelas tugas kepolisian itu apa, tugasnya adalah penegakan hukum, pelayanan, serta perlindungan masyarakat dari kejahatan dan gangguan keamanan. Kalau aturan kayak gini, masyarakat harus percaya ke siapa? Pihak kepolisian dianggap sebagai pengayom malah mempersulit masyarakat untuk mengadu.”

 

Penolakan ini bukan hanya sekadar prosedur administratif bagi Buchori dan kawan-kawannya. Ini adalah pintu masuk kepada ketidakadilan sistemik. Mereka mempertanyakan mengapa ketika perusahaan yang melapor, tindakan penanganan begitu cepat. Sebaliknya, ketika masyarakat biasa yang datang, mereka dihadapkan pada sekat birokrasi yang membelenggu.

 

“Apakah kami masyarakat harus lapor ke Kodim atau instansi lain dalam hal mencari keadilan?” tanya Buchori retoris. Pertanyaan ini lahir dari kekecewaan yang mendalam dan memicu pemikiran negatif terhadap integritas institusi. “Kita menduga, apakah mungkin kalau perusahaan ada anggaran besar, jadi setiap kemauannya selalu diiyakan? Dan kita sebagai masyarakat dianggap tidak punya anggaran dan dianggap lemah, jadi dipersulit dalam pelaporan.”

 

 

BAGIAN 2: DARI LAPORAN KE JALANAN: ESKALASI MENUJU AKSI DEMONSTRASI

 

Merasa jalur hukum formal telah tertutup oleh prosedur yang dianggap tidak lazim, LPKPK Kabupaten Tanah Laut memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih vokal. Mereka mengumumkan rencana untuk melakukan aksi demonstrasi ke tiga titik: Polres Tanah Laut, Pemerintah Daerah (PEMDA) Tanah Laut, dan akan menyampaikan pendapat hingga ke tingkat Polda Kalimantan Selatan dan Kantor Gubernur Kalsel.

 

Aksi ini tidak akan dilakukan tanpa data. Mereka berjanji membawa sejumlah data dukung untuk memperkuat penyampaian pendapat mereka. Selain itu, langkah strategis akan diambil dengan melaporkan penolakan pelaporan masyarakat ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, menuntut adanya tindakan signifikan dan evaluasi internal dalam tubuh kepolisian.

 

“Kita akan mempertanyakan beberapa hal mendasar,” tegas Buchori, merinci poin-poin tuntutan mereka.

 

Pertama, terkait Izin Amdal PT Arutmin. Mereka mempertanyakan keabsahan dan kepatuhan Amdal perusahaan tambang besar tersebut. Apakah prosesnya transparan dan apakah masyarakat terdampak dilibatkan secara sungguh-sungguh?

 

Kedua, berkaitan dengan kegiatan

Sesuai dengan titik kordinat yang disengketakan

tambang ilegal di Desa Kintap Kecil. LPKPK menuding adanya aktivitas penambangan di sisi jalan provinsi dimana Overburden (OB) atau tanah penutup dibuang begitu saja ke bibir sungai, hingga menyebabkan Sungai Kintap tertutup dan buntu. Praktik ini tidak hanya merusak pemandangan tetapi juga mengancam ekosistem sungai dan meningkatkan risiko banjir.

Sungai tambah mengecil tetutup limbah tambang yang dibuang secara ngawur oleh pihak penambang

Ketiga, mereka mempertanyakan peran pengawasan pejabat negara. “Berkaitan pengawasan atau pejabat negara yang seharusnya menindak kegiatan yang di luar aturan,” ujar Buchori. Pertanyaan ini menyasar pada kemungkinan adanya pembiaran atau bahkan kolusi antara oknum aparat dengan pihak perusahaan, sehingga pelanggaran pertambangan dan dampak lingkungan hidup dibiarkan berlarut-larut. Kerusakan ekosistem air dan habitat di dalamnya menjadi pertaruhan yang terlalu mahal untuk diabaikan.

 

Keempat, adalah persoalan kearifan lokal. “Masalah kearifan lokal yang harus dijunjung tinggi oleh setiap investor perusahaan di wilayah kami,” tekannya. Bagi masyarakat Tanah Laut, tanah dan sungai bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga identitas budaya dan warisan untuk anak cucu. Kegiatan tambang yang merusak dianggap telah menginjak-injak nilai-nilai luhur ini dan mengorbankan masa depan generasi mendatang untuk keuntungan sesaat.

 

 

BAGIAN 3: MENCERMATI AKAR PERSOALAN: HUKUM YANG TUNDUK PADA MODAL?

 

Insiden di Polres Tanah Laut ini hanyalah puncak dari gunung es ketegangan antara masyarakat, perusahaan tambang, dan otoritas yang berwenang. Kasus M. Yusup mungkin hanya satu dari sekian banyak warga yang merasa haknya terampas oleh operasi pertambangan skala besar.

 

Praktik penolakan laporan dengan alasan harus ada surat dari Kapolres terlebih dahulu adalah sebuah anomaly dalam prosedur kepolisian. Regulasi kepolisian sejatinya dirancang untuk memudahkan masyarakat melapor, bukan mempersulit. Prosedur yang tidak jelas ini menciptakan ruang bagi diskresi yang dapat disalahgunakan, dan berpotensi menjadi bentuk pembiaran (omission) terhadap kejahatan.

 

Pertanyaan tentang perbedaan perlakuan antara laporan perusahaan dan laporan warga adalah pertanyaan klasik yang terus bergaung di daerah-daerah pertambangan. Persepsi bahwa hukum lebih mudah berpihak pada pemilik modal besar (capital) dibandingkan pada warga kecil (community) adalah persepsi yang berbahaya karena dapat meruntuhkan legitimasi negara di mata rakyatnya.

 

Dugaan pembuangan OB ke sungai oleh PT Arutmin, jika benar, merupakan pelanggaran lingkungan yang serius. Ini melanggar prinsip-prinsip dasar pengelolaan tambang yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Penyumbatan sungai tidak hanya mengancam biodiversitas tetapi juga langsung membahayakan keselamatan dan mata pencaharian masyarakat di hilir, terutama saat musim hujan tiba.

 

Pertanyaan tentang Amdal dan pengawasan pejabat juga menyentuh titik terlemah governance sektor tambang di Indonesia. Amdal seringkali dianggap sebagai sekadar administrasi belaka, bukan sebagai instrumen pengawasan yang ketat. Lemahnya pengawasan dari instansi terkait, baik lingkungan hidup maupun perizinan, menciptakan lingkungan yang permisif bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran.

 

 

BAGIAN 4: TUNTUTAN KEADILAN DAN MASA DEPAN YANG BERKELANJUTAN

 

Aksi yang direncanakan LPKPK bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah bentuk dari “social control” atau kontrol sosial yang dijalankan oleh masyarakat, sebagaimana disampaikan dalam pernyataan mereka. Mereka menempatkan diri sebagai pengawas tidak hanya bagi kebijakan tetapi juga bagi praktik penegakan hukum di daerahnya.

 

Dengan membawa isu ini ke tingkat Polda dan Gubernur, mereka berharap ada intervensi dari level yang lebih tinggi untuk membenahi tata kelola kepolisian dan pertambangan di Tanah Laut. Pelaporan ke Propam adalah langkah korektif yang penting untuk memastikan bahwa setiap penyimpangan dalam pelayanan diproses secara internal.

 

Pertaruhan di balik semua ini sangat besar. Ini adalah pertaruhan antara model pembangunan ekstraktif jangka pendek yang seringkali meninggalkan kerusakan, versus pembangunan berkelanjutan yang menghargai hak-hak masyarakat lokal, kearifan lokal, dan kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.

 

“Demikian hal ini kami sampaikan dengan penuh harapan suatu keadilan atas nama masyarakat,” tutup pernyataan LPKPK. Harapan itu kini menggantung. Apakah institusi yang ada akan merespons dengan membuka dialog dan memperbaiki pelayanan, atau justru mengerdilkan tuntutan keadilan ini dengan dalih prosedur dan birokrasi?

 

Mata masyarakat Tanah Laut, dan mungkin seluruh Kalimantan Selatan, tertuju pada langkah-langkah selanjutnya dari Polres Tanah Laut, Pemerintah Daerah, dan PT Arutmin Indonesia. Kasus M. Yusup telah menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Bagaimana negara menjawabnya, akan menentukan arah demokrasi dan penegakan hukum di daerah yang kaya akan sumber daya alam ini.

Redaksi:pengawalkebijakan.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *