
oppo_2
Pengawalkebijakan.id -Suasana di ruang rapat Komisi I DPRD Kalimantan Selatan pada Senin (6/10/2025) pagi itu tegang namun penuh tekad. H. Iswandi, Ketua Komite Cabang (Komcab) Tanah Laut dari organisasi masyarakat Lembaga Pengawal kebijakan Pemerintah dan keadilan ( LPKPK) KALSEL, hadir dengan tatapan penuh keyakinan. Di sampingnya, dua penasihat hukumnya, Malik Mahardika, S.H., M.H., dan Joko Santosa dari kuasa hukum Komnas LP.K-P-K, siap dengan segudang dokumen. Mereka bukan hadir sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pihak Kuasa hukum warga yang dijerat dengan Pasal 162 Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) atas dugaan perintangan kegiatan tambang—sebuah pasal yang mereka sebut sebagai “pasal karet”.

Kasus yang awalnya menyeret H. Iswandi dan dua rekannya, H. Mahkmud dan H. Muhammad Yusuf, ini telah berkembang bak bola salju. Tidak hanya melibatkan Diskrimsus Polda Kalsel, tapi juga menyentuh ranah politik tinggi, menyoroti peran Bupati Tanah Laut dan DPRD Kalsel, dalam sebuah drama sengketa lahan yang menguak lemahnya legitimasi kepemilikan tanah oleh perusahaan tambang PT ArutmIn.
Akar Permasalahan: Patok Tanah dan Sinyal Kepemilikan yang Samar
Konflik ini berawal dari aksi pemasangan patok di sebidang tanah di Kabupaten Tanah Laut. Dalam berbagai keterangan, H. Iswandi dan kawan-kawan membantah keras tindakan mereka menghalangi aktivitas pertambangan.
“Tanah yang sudah dipatok itu sama sekali tidak mengganggu pekerjaan PT ArutmIn,” tegas H. Iswandi dalam pernyataannya. “Patok itu hanya sebagai tanda bahwa tanah di lingkungan itu masih bermasalah dan belum jelas kepemilikannya. Ini adalah bentuk protes damai warga yang hak-haknya terancam.”
Klaim H. Iswandi ini menemukan titik terang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada hari itu. Yang mengejutkan, ketika dimediasi oleh DPRD, pihak PT ArutmIn ternyata belum mampu menunjukkan dokumen kepemilikan tanah yang sah dan lengkap. Sementara itu, pihak LPKPK (Lembaga Pengawal Kebijakan Publik dan Keadilan) yang diwakili H. Iswandi justru datang dengan persiapan matang.
“Kami sudah siap membawa dokumen lengkap dari Kementerian ATR/BPN sebagai data dalam RDP,” papar salah satu perwakilan LPKPK, menunjukkan keseriusan mereka dalam memperjuangkan klaim berdasarkan data administratif.
Kontras ini menguatkan dugaan bahwa persoalan mendasarnya adalah sengketa lahan, di mana perusahaan diduga beroperasi di atas tanah yang status kepemilikannya masih abu-abu. Kehadiran mantan Kepala Desa (Kades lama) dan Kades baru dalam RDP semakin memperkuat kompleksitas persoalan ini, menandakan bahwa konflik telah berlangsung lama dan melibatkan berbagai generasi kepemimpinan desa.
Pasal 162 UU Minerba: “Pasal Karet” yang Akan Digugat
Di tengah sengketa lahan inilah, polisi justru menjerat H. Iswandi, H. Mahkmud, dan H. Muhammad Yusuf dengan Pasal 162 UU Minerba. Pasal ini mengancam setiap orang yang dengan sengaja menghalangi kegiatan usaha pertambangan dengan pidana penjara dan denda. Namun, dalam praktiknya, pasal ini sering dikritik sebagai alat pemidanaan bagi masyarakat yang menyuarakan protes.
Malik Mahardika, S.H., M.H., penasihat hukum H. Iswandi, dengan lantang mengecam penggunaan pasal ini. “Pasal 162 tentang Minerba perlu dilakukan uji materi karena pasal tersebut dibuat sengaja menjerat warga atau aktivis yang berpikiran kritis dan menyuarakan terkait dampak lingkungan, termasuk aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan,” tegas Malik.
Dia mengungkapkan rencana konkret untuk membawa pasal ini ke meja hijau. “Dalam waktu dekat, kami akan melakukan penggugatan uji materi ulang, karena Pasal 162 UU Minerba dianggap pasal karet. Sifatnya yang multitafsir dan elastis sangat rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik dan perlawanan masyarakat yang sah terhadap operasi tambang yang bermasalah.”
Gugatan uji materi ini diprediksi akan menjadi perhatian nasional, mengingat banyaknya kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia, di mana masyarakat dan aktivis lingkungan dikriminalisasi dengan menggunakan UU Minerba.
Penetapan Tersangka yang Dipikirkan: Mediator Dijadikan Tersangka
Selain soal pasal, proses hukum dalam kasus ini juga menuai kecurigaan. H. Iswandi secara terbuka menyatakan bahwa penetapan tiga orang sebagai tersangka terasa sangat janggal.
“Kesannya, penetapan tersangka yang sudah dituduhkan kayak dipaksakan dilakukan pihak Diskrimsus Polda Kalsel sebagai kasus titipan,” ungkap H. Iswandi dengan nada prihatin.
Kejanggalan itu semakin nyata ketika menilik posisi H. Mahkmud. “Yang lebih lucu, penetapan H. Mahkmud itu sudah salah besar. Kapasitas H. Mahkmud waktu itu hanya sebagai mediator, bukan pelaku pematok. Kenapa harus dijadikan tersangka?” tanya H. Iswandi yang disoraki oleh para pendukungnya.
Hal ini menguatkan indikasi bahwa proses hukum tidak berjalan murni, melainkan ada tekanan atau kepentingan tertentu yang membuat polisi bertindak gegabah dalam menjerat tersangka. Tuduhan “kasus titipan” dari perusahaan terhadap kepolisian semakin mengemuka dan menjadi noda dalam penegakan hukum di Kalsel.
RDP 6 Oktober: Mediasi dan Pengakuan Keterbatasan
RDP pada hari Senin itu menjadi momen krusial. Di hadapan perwakilan PT Arutmen, Kapolres Tanah Laut, Bupati, Camat, serta kedua Kades, suara H. Iswandi dan tim kuasa hukumnya bergema.
Joko Santoso, Wakil Ketua Umum Dan Malik Mahardika Dh .Mh kuasa hukum dari Komnas HAM, menyoroti ketergesaan penjeratan hukum. “Joko Santoso dan Malik Mahardika, S.H., M.H. menjelaskan serta memaparkan apa yang sudah disangkakan kepada Ketua LPKPK Tanah Laut H. Iswandi KALSEL masih terlalu dini, padahal belum didatangkan saksi ahli dan bukti kepemilikan.”
Artinya, proses penyidikan dinilai cacat hukum karena dilakukan tanpa menunggu bukti utama, yaitu keabsahan kepemilikan tanah oleh PT Arutmen. Jika perusahaan tidak bisa membuktikan kepemilikannya, maka klaim “perintangan kegiatan usaha” menjadi tidak berdasar.
Di sisi lain, perwakilan Komisi I DPRD Kalsel mengakui keterbatasan mereka dalam menyelesaikan kasus rumit ini. Namun, mereka berjanji untuk tetap membantu mediasi secara kekeluargaan secara maksimal. Pernyataan ini, meski di satu sisi menunjukkan niat baik, juga mengisyaratkan betapa kompleks dan berlarut-larutnya persoalan ini, sementara ancaman pidana telah menggantung di kepala tiga warga.
Perjuangan yang Lebih Besar: Melawan “Penjajahan” dan Menjaga Kearifan Lokal
Bagi H. Iswandi dan warga, perjuangan ini bukan sekadar persoalan satu dua patok tanah. Ini adalah perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
“Misi kita untuk mendampingi Ketua Komcab Kab. Tanah Laut pak H. Iswandi dkk dalam Rapat Dengar Pendapat DPRD setempat yang membahas Sengketa Lahan Pertambangan dengan PT. Arutmn. Dan kita dengan tim Komnas TETAP akan mencarikan solusi terkait kasus sengketa tanah yang sudah berjalan,” tegas Joko Santoso.
H. Iswandi, dengan semangat yang berapi-api, menambahkan, “Pihak LPKPK dan seluruh warga akan tetap melawan PT Arutmin karena sudah dianggap menjajah serta berusaha menghilangkan kearifan lokal yang sudah dijunjung tinggi oleh warga terdekat.”
Pernyataan ini menyiratkan bahwa konflik ini telah memasuki ranah sosio-kultural. Keberadaan tambang tidak hanya dilihat sebagai ancaman ekologis dan ekonomis, tetapi juga sebagai perusak tatanan sosial dan nilai-nilai lokal yang telah dipegang teguh oleh masyarakat selama turun-temurun.
Sebuah Persimpangan Hukum dan Keadilan
Kasus H. Iswandi dan kawan-kawan di Tanah Laut adalah potret mini dari persoalan pertambangan di Indonesia. Di satu sisi, negara hadir dengan UU Minerba yang dianggap protektif terhadap investasi, namun abai terhadap perlindungan hak-hak masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, masyarakat sipil dan aktivis seperti yang diwakili oleh Pengawal Kebijakan KALSEL terus berjuang menyuarakan keadilan, meski harus berhadapan dengan pasal-pasal karet dan kekuatan korporasi yang diduga kuat backing-nya hingga ke level politik daerah. Kalau penetapan tersangka ini tdak terbukti dan dianggap ada kongkalikong maka masalah tersebut akan kita laporkan ke propan
RDP pada 6 Oktober 2025 bukanlah akhir dari cerita. Ini adalah babak baru dari sebuah perjuangan panjang. Keberanian H. Iswandi, ketajaman analisis hukum Malik Mahardika, dan dukungan Joko Santoso dari Komnas HAM menjadi sinar harapan.
Nasib tiga tersangka dan masa depan warga di sekitar tambang kini berada di ujung tanduk. Apakah hukum akan berpihak pada kebenaran substantif, atau hanya menjadi alat untuk melindungi kepentingan modal? Jawabannya akan menentukan tidak hanya masa depan H. Iswandi, tetapi juga citra penegakan hukum dan keadilan di Kalimantan Selatan, serta menjadi preseden bagi ratusan kasus serupa di seluruh Nusantara. Perjuangan Pengawal Kebijakan KALSEL adalah perlawanan kita semua.
Redaksi pengawalkebijakan.id