
oppo_2
pengawalkebijakan.id, Tanah Laut, [9/10 2023, 10.50 WITA] – Suara perlawanan terhadap dugaan praktik pertambangan yang menyimpang kembali bergema dari Bumi Lambung Mangkurat. H. Iswandi HD, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, bersama timnya, telah menyiapkan sejumlah poin pelaporan terhadap kegiatan PT Arutmin Indonesia yang diduga kuat melanggar sejumlah aturan. Laporan ini rencananya akan segera disampaikan Kepolisian Resor (Polres) setempat.
Dalam pernyataannya yang tegas, H. Iswandi menyatakan bahwa langkah ini merupakan bentuk kontrol sosial (social control) dari masyarakat untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan memastikannya berjalan sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan. Ancaman eskalasi hingga ke tingkat nasional pun disampaikan, jika tidak ada tanggapan serius dari pihak pemerintah daerah.

“Kami selaku Lembaga Swadaya Masyarakat melaporkan hal ini sebagai control sosial masyarakat. Dan akan terus mengawasi semua kebijakan pemerintah yang berdasarkan aturan dan undang-undang. Dan akan mengangkat hal ini ke tingkat LSM Pusat dan akan melapor ke Bapak Presiden Republik Indonesia apabila hal ini tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah,” ujar H. Iswandi dengan nada tegas.
Setelah melakukan pemantauan dan pengumpulan data, H. Iswandi dan timnya merumuskan setidaknya empat poin utama dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Arutmin. Keempat poin ini dinilai sangat merugikan masyarakat, merusak lingkungan, dan mengabaikan kearifan lokal.
1. Penguasaan Lahan Bermasalah atas Nama M. Yusup
Poin pertama menyoroti masalah perlakuan terhadap lahan yang dikuasakan kepada seorang bernama M.Yusup, yang kemudian telah dikerjakan oleh pihak PT Arutmin. Meski tidak dijelaskan secara detail, kasus ini diduga melibatkan ketidakjelasan status atau proses pengalihan hak yang tidak transparan dan merugikan pemilik lahan asli. Praktik semacam ini seringkali menjadi sumber konflik sosial antara perusahaan tambang dengan masyarakat lokal, di mana masyarakat merasa tidak diikutsertakan dalam proses dan kesepakatan yang adil.
2. Pembiaran Tambang Ilegal di Dalam Konsesi Arutmin
Poin kedua mengangkat adanya aktivitas tambang ilegal yang beroperasi di Desa Kintap Kecil,yang wilayahnya masuk dalam area Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Arutmin. Yang menjadi sorotan utama adalah adanya dugaan “pembiaran” dari pihak instansi terkait. Masyarakat dan LSM mempertanyakan mengapa perusahaan pemegang IUP yang seharusnya bertanggung jawab atas wilayah konsesinya, diduga membiarkan aktivitas ilegal tersebut berlangsung. Pertanyaan besar juga ditujukan kepada aparat, apakah ada pembiaran atau bahkan kolusi yang memungkinkan tambang ilegal itu dapat beroperasi dengan leluasa.
3. Pembuangan Overburden yang Menutup Sungai Kintap
Dampak lingkungan yang paling kasat mata dan langsung dirasakan masyarakat diangkat dalam poin ketiga.Pihak PT Arutmin dituding membuang material sisa galian (Overburden atau OB) hingga ke bantaran Sungai Kintap. Akibatnya, sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat setempat dilaporkan mengalami pendangkalan dan bahkan tertutup oleh material buangan tersebut. Praktik ini jelas melanggar ketentuan pengelolaan lingkungan hidup dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis seperti banjir bandang serta kerusakan ekosistem perairan.
4. Penambangan di Luar Area IUP di Riam Adungan
Poin keempat merupakan pelanggaran yang sangat serius,yaitu dugaan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Arutmin di luar batas wilayah yang tercantum dalam IUP-nya, tepatnya di Desa Riam Adungan, Batu Kapit. Aktivitas di luar konsesi (outside mining area) merupakan bentuk pelanggaran perizinan yang fundamental dan dapat dikategorikan sebagai penambangan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan berizin. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari Dinas Pertambangan dan Energi setempat.
Tidak berhenti pada ancaman pelaporan, H. Iswandi, yang juga menyatakan diri sebagai representasi orang pribumi, menyampaikan kekecewaan yang mendalam. Ia menegaskan bahwa masyarakat lokal sudah tidak dianggap lagi dan kearifan lokal yang dijaga turun-temurun justru “diinjak-injak” oleh investor.
“Karena kita orang pribumi sudah tidak dianggap. Kearifan lokal yang kita jaga dari dulu sampai sekarang diinjak-injak oleh investor. Atau orang wilayah kita akan melawan, kita akan kerahkan semua orang adat sebagai bentuk perlawanan untuk melindungi kearifan lokal,” ujar H. Iswandi dengan penuh emosi.
Pernyataan ini merupakan sinyal kuat bahwa ketegangan sosial di wilayah tersebut telah mencapai titik didih. Mobilisasi massa dari kalangan masyarakat adat bukanlah ancaman yang bisa dianggap remeh, dan berpotensi memicu konflik horisontal yang lebih luas.
Rencana jangka pendek mereka adalah melaporkan secara resmi dugaan pelanggaran ini ke Polres Tanah Laut. Langkah ini diambil untuk memberikan tekanan hukum langsung di tingkat lokal. Namun, dengan janji untuk mengangkatnya ke Jaringan LSM tingkat pusat dan bahkan hingga ke meja Presiden RI, menunjukkan bahwa perjuangan ini telah dirancang dengan strategi eskalasi bertingkat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT Arutmin Indonesia maupun dari Pemerintah Kabupaten Tanah Laut terkait dengan berbagai tuduhan yang dilayangkan oleh H. Iswandi dan LSM-nya. Masyarakat menunggu sikap tegas dan tindakan nyata dari pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kasus ini kembali menyoroti persoalan klasik di sektor pertambangan Indonesia: tumpang-tindih antara kepentingan ekonomi, lemahnya pengawasan, dampak lingkungan yang masif, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat lokal. Apakah laporan ini akan berujung pada proses hukum yang transparan dan berkeadilan, atau justru tenggelam tanpa kejelasan, menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum dan menjaga kedaulatan lingkungan serta masyarakat adat di Tanah Laut.
Redaksi : pengawalkebijakann.id