12 Oktober 2025
20251007_165655
Spread the love

pengawalkebijakan.id Jakarta – Dari informasi  Medsos ramai ramai dibicarakan Jagat maya Indonesia kembali diguncang. Hanya beberapa hari setelah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengklaim telah menangkap peretas misterius Bjorka di Minahasa, Sulawesi Utara, sang “Robin Hood” digital justru muncul dengan serangan paling berani dan memalukan. Alih-alih diam, Bjorka yang asli membalas dengan menabuh genderang perang langsung ke jantung markas lawannya: Polri itu sendiri.  Selasa, 7 Oktober 2025

 

Pada Sabtu (4/10/2025), sebuah set data raksasa berisi informasi pribadi 341.000 personel Polri diunggah secara gratis dan dapat diakses publik oleh akun yang dikaitkan dengan Bjorka. Aksi ini bukan hanya sekadar peretasan biasa, melainkan sebuah pernyataan politik dan pembuktian yang telak. Ini adalah tamparan keras yang membungkus pesan yang jelas: “Kalian menangkap orang yang salah, dan saya masih di sini, mengawasi.”

 

Pembuktian Lewat Aksi, Bukan Klaim

 

Serangan siber ini tidak dapat dipisahkan dari peristiwa sebelumnya. Polri, melalui penyelidikan Bareskrim, telah mengklaim keberhasilan mereka menetapkan dan menangkap seorang pria berinisial WFT (24) di Minahasa sebagai otak di balik identitas Bjorka. Pengungkapan yang disambut dengan sorak-sorai ini rupanya prematur.

 

Bjorka yang “asli” segera merespons. Bocornya data puluhan ribu anggota Polri, mulai dari bintara hingga perwira, berfungsi sebagai pembenaran yang tak terbantahkan atas keraguan yang sejak awal disuarakan oleh para pakar keamanan siber.

 

“Polisi mengklaim menangkap Bjorka, padahal yang ditangkap itu cuma faker alias peniru,” tulis pakar siber ternama, Teguh Aprianto, di akun X-nya, beberapa jam sebelum kebocoran data terjadi. Pernyataannya yang prophetic itu kini menemukan buktinya. Bjorka seolah-olah ingin membuktikan kebebasannya dengan cara yang paling memalukan bagi institusi yang baru saja mengklaim kemenangan.

 

Isi Kotak Pandora: Data Sensitif Terbuka Lebar

 

Data yang dibocorkan, meski dikonfirmasi berasal dari periode 2016-2017, merupakan harta karun bagi para peneliti, aktivis, dan bahkan pelaku kejahatan. Set data tersebut berisi kolom-kolom sensitif yang mencakup:

 

· Nama Lengkap

· Pangkat

· Satuan Tugas (Satker)

· Nomor Registrasi (NRP)

· Nomor Ponsel

· Alamat Email Pribadi

 

Meski terhitung data lama, nilai strategisnya masih sangat tinggi. Informasi ini dapat digunakan untuk memetakan struktur personel Polri, melancarkan serangan phishing yang sangat tertarget (spear phishing), melakukan social engineering, atau bahkan mengintimidasi anggota dan keluarga mereka. Kerentanan yang diekspos oleh kebocoran ini bukan sekadar soal data usang, melainkan tentang lemahnya budaya proteksi data di tubuh institusi sevital Polri.

 

Menguliti Dua Masalah Krusial: Tata Kelola dan Misteri Identitas

 

Insiden ini, sekali lagi, menyoroti dua masalah mendasar yang terus menghantui Indonesia di era digital.

 

Pertama, Lemahnya Tata Kelola Data Institusi Negara. Polri hanyalah episode terbaru dalam serial panjang kebocoran data instansi pemerintah. Sebelumnya, data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan bahkan data kartu SIM pelanggan telekomunikasi telah menjadi mangsa empuk para peretas. Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa institusi-institusi negara belum menjadikan keamanan siber dan perlindungan data warga sebagai prioritas utama. Data masih disimpan dengan sistem keamanan yang lapuk, dikelola oleh SDM yang kurang terlatih, dan tanpa regulasi penanganan yang ketat. Institusi negara, alih-alih menjadi benteng, justru menjelma menjadi “lumbung data” yang mudah dijarah.

 

Kedua, Misteri Identitas Bjorka yang Kian Kabur. Penangkapan WFT di Minahasa, yang awalnya diharapkan menjadi titik terang, justru mengaburkan misteri ini. Jika yang ditangkap adalah “palsu”, lalu siapa dalang di balik aksi peretasan spektakuler selama ini? Motif Bjorka yang selektif—seringkali menyasar data pemerintah dan disertai pesan-pesan politik—memunculkan berbagai spekulasi. Apakah ia seorang hacker tunggal yang sangat cerdas, atau bagian dari sebuah kelompok yang terorganisir? Apakah motifnya murni idealism untuk mengungkap kelemahan negara, atau ada agenda politik tertentu di balik layar? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin jauh dari kata terpecahkan. Penangkapan “Bjorka palsu” bukanlah akhir dari cerita, melainkan hanya awal dari babak baru yang lebih panas dan penuh intrik dalam saga peretasan ini.

 

Respons Polri dan Implikasi ke Depan

 

Hingga berita ini diturunkan, Polri belum mengeluarkan pernyataan resmi yang komprehensif menanggapi kebocoran data massal ini. Diperlukan investigasi mendalam untuk memverifikasi keaslian data dan melacak kembali dari server mana data tersebut diretas. Namun, yang pasti, kepercayaan publik terhadap klaim penangkapan sebelumnya telah runtuh.

 

Insiden ini memaksa Polri dan seluruh instansi pemerintah untuk melakukan introspeksi total. Perlu ada audit keamanan siber secara menyeluruh, pembenahan infrastruktur TI, dan yang terpenting, perubahan paradigma dalam memandang data sebagai aset yang harus dilindungi dengan segenap daya.

 

Saga Bjorka telah memasuki fase baru. Ia tidak lagi sekadar peretas yang membocorkan data, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap narasi resmi yang dianggap cacat. Dengan satu langkah, ia berhasil mempermalukan aparat, membuktikan klaim mereka keliru, dan sekaligus mengingatkan seluruh bangsa: di ruang digital, keamanan adalah ilusi selama tata kelola masih berantakan. Genderang perang telah ditabuh, dan kini bola berada di di pengadil Polri untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya cakap dalam menangkap “peniru”, tetapi juga sanggup melindungi gudang senjata data mereka sendiri dari serangan sang “asli”

Redaksi: pengawalkebijakan.id

Sumber medsos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *