
PASANGKAYU, SULBAR— Situasi di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, meledak setelah Komisi Daerah Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-K.P.K) Sulbar menuding personel Brimob Polda Sulbar bersenjata lengkap telah menyalahgunakan kewenangan negara untuk melindungi kepentingan bisnis PT. Pasangkayu. Insiden yang terjadi pada Minggu (5/10/2025) siang ini memunculkan pertanyaan besar, apakah aparat negara telah menjadi bodyguard bagi korporasi swasta?
Pengamanan bersenjata di Lokasi sengketa dan Bukti Surat Perintah dipertanyakan Tim Investigasi LP-K.P.K yang dipimpin Ketua Komda Sulawesi Barat. Eliasib, dia menemukan pemandangan yang mengagetkan, ada delapan personel Brimob dengan senjata laras panjang berdiri siaga bersama security perusahaan saat aktivitas pemuatan buah sawit berlangsung.
Diduga kuat, buah sawit yang diangkut adalah hasil panen yang diklaim dari lahan perusahan dan area garapan warga yang berkonflik dengan perusahaan.
Kehadiran Brimob bersenjata di tengah perkebunan kelapa sawit swasta adalah bentuk keberpihakan yang telanjang dan menampar fungsi kepolisian!” tegas Eliasib. dengan nada berapi-api.
Saat dikonfrontasi, anggota Brimob menunjukkan Surat Perintah (Sprin) yang berasal dari Kapolda Sulbar, Kombes Pol Adi Derian Jayamarta. Alasannya untuk pengawasan di area HGU.
Namun, LP-K.P.K menilai dalih ini lemah dan mempertanyakan urgensi pengerahan pasukan bersenjata di area yang bukan zona terorisme, narkoba, atau ancaman keamanan nasional.
“Polisi adalah alat negara yang digaji oleh rakyat, bukan alat keamanan perusahaan. Kehadiran Brimob bersenjata di area perkebunan kelapa sawit milik swasta adalah bentuk keberpihakan pada korporasi dan terhadap fungsi kepolisian,” tegas Eliasib.
Dalam investigasi di lokasi, pihak LP-K.P.K meminta bukti resmi dokumen HGU yang menjadi dasar klaim lahan perusahaan. Namun, petugas keamanan perusahaan bernama Arif hanya menunjukkan peta digital di ponsel, tanpa stempel atau tanda tangan resmi dari BPN (Badan Pertanahan Nasional).
“Peta tanpa legalisasi BPN bukan dokumen sah. Kami menuntut keterbukaan dan transparansi, karena HGU adalah dokumen publik sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik maka wajib diperlihatkan ke publik” tegas Eliasib.
LP-K.P.K menilai tindakan PT. Pasangkayu yang mengangkut hasil panen masyarakat dengan dalih “lahan perusahaan” tanpa bukti legal formal berpotensi melanggar hukum pidana, khususnya terkait perampasan hasil panen rakyat di area abu-abu.
LP-K.P.K menyoroti bahwa tindakan ini berpotensi melanggar berbagai ketentuan hukum nasional, di antaranya:
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Pasal 13: Polisi bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan korporasi.
- Pasal 19 ayat (1): Anggota Polri dilarang menyalahgunakan kewenangan.
- Pengawalan perusahaan melibatkan aparat bersenjata khususnya di area perkebunan sawit perlu dipertanyakan
- Perkap No. 8 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian Penggunaan senjata api wajib memenuhi prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.
- Kehadiran Brimob bersenjata di lokasi tanpa ancaman nyata dinilai tidak proporsional dan menyalahi etika kepolisian.
- UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Pasal 2 ayat (1): Informasi publik bersifat terbuka.
- Pasal 11 ayat (1) huruf (b): Maka wajib data HGU diumumkan secara berkala ke publik
- Penolakan perusahaan menunjukkan indikasi pelanggaran keterbukaan publik.
- UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Lebih lanjut Eliasib menyatakan beberapa poin sebagai berikut :
- Meninjau ulang terhadap Sprin Brimob Polda Sulbar yang digunakan dalam kegiatan di PT. Pasangkayu.
- Mengkaji dan memeriksa personel bersenjata dilokasi perkebunan sawit dan bukan kawasan tempat terorisme,perjudian atau kawasan narkoba.
- Audit transparansi HGU PT. Pasangkayu melalui BPN untuk memastikan legalitas klaim lahan; dan
- Perlindungan hukum terhadap warga yang lahannya terdampak klaim perusahaan.
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan keterlibatan aparat bersenjata dalam konflik agraria antara warga dan korporasi sawit di wilayah Sulawesi Barat. Publik kini menanti langkah tegas Kapolri dan Kompolnas untuk memastikan netralitas aparat serta supremasi hukum di atas segala kepentingan bisnis.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami anti kesewenang-wenangan. Jangan jadikan aparat negara sebagai tameng korporasi. Negara harus hadir untuk rakyat, bukan untuk pemodal dengan menggunakan senjata laras panjang,” tutup Eliasib dengan nada tegas#