JOMBANG – Penyambutan siswa baru di SMKN 1 Jombang pada tahun ajaran ini diwarnai sebuah “kejutan” yang tidak tercantum dalam buku panduan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Selain membayar SPP bulanan, para wali murid baru juga menerima sebuah “himbauan” untuk memberikan kontribusi dana pembangunan sebesar Rp 1,5 juta per siswa.
Himbauan yang tersiar melalui grup percakapan orang tua siswa dan pertemuan informal ini langsung menjadi viral di media sosial dan komunitas warga. Banyak wajah orang tua yang mengernyit, disertai pertanyaan yang sama: “Bukankah pungutan di sekolah negeri sudah jelas-jelas dilarang?”
Merespons gelombang protes dan situasi yang mulai memanas, Kepala SMKN 1 Jombang, Abdul Muntholib, segera menggelar pertemuan dan mengeluarkan jurus klarifikasi. Dengan bahasa yang sangat berhati-hati dan penuh perhitungan, ia berusaha meredam anggapan bahwa ini adalah pungutan liar (pungli).
“Ini bukan pungutan liar, ini namanya iuran atau dana partisipasi yang sifatnya sukarela,” tegas Muntholib, seperti dikutip dari beberapa orang tua yang hadir. Ia menegaskan bahwa sumbangan tersebut tidak bersifat wajib dan tidak ada paksaan.
Namun, klarifikasi ini justru melahirkan sebuah komedi birokrasi yang sempurna. Permainan kata dari “pungutan” menjadi “dana partisipasi” dianggap sebagai upaya memperhalus istilah agar terdengar lebih sukarela dan ramah di telinga. Padahal, dalam praktiknya, himbauan yang nominalnya sudah ditetapkan secara paten—Rp 1,5 juta—menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi orang tua.
Kekhawatiran terbesar adalah adanya “paksaan moral”. Meski dinyatakan tidak wajib, banyak orang tua khawatir bahwa ketidakikutsertaan mereka dalam “berpartisipasi” akan berimbas pada suasana belajar anak mereka di sekolah. “Ini kan himbauan. Kalau tidak dibayar, jangan-jangan anak kami nanti dapat perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dianggap tidak mendukung program sekolah. Itu yang kami takutkan,” ujar Sari, salah seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Lalu, untuk apa sebenarnya dana sebesar Rp 1,5 juta per siswa itu dikumpulkan? Menurut penjelasan pihak sekolah, dana tersebut akan dialokasikan untuk membangun sejumlah fasilitas penunjang yang lebih “keren”. Di antaranya adalah pembuatan jogging track, perluasan dan perbaikan tempat parkir, serta berbagai renovasi lainnya.
Sebuah rencana pembangunan yang tentunya sangat mulia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa beban pembangunan fasilitas umum sekolah negeri justru dibebankan kepada orang tua murid baru, dan mengapa harus dengan nilai yang telah distandardisasi?
Pertanyaan ini menguak akar masalah yang lebih dalam: tanggung jawab pembiayaan pendidikan. Sekolah negeri, secara hukum, merupakan asset dan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Pusat Setiap tahun, negara mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk operasional sekolah, termasuk untuk pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur.
Kebijakan “dana partisipasi” di SMKN 1 Jombang ini justru terasa ironis ketika melihat banyaknya program bantuan pendidikan dari pemerintah yang secara khusus ditujukan untuk meringankan beban ekonomi masyarakat dan memperbaiki infrastruktur sekolah.
1. Program Indonesia Pintar (PIP): Program ini memberikan bantuan biaya pendidikan langsung kepada siswa dari keluarga miskin dan rentan melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada lagi siswa yang putus sekolah karena alasan ekonomi. Dana PIP bisa digunakan untuk membeli perlengkapan sekolah, biaya transportasi, dan kebutuhan pendukung belajar lainnya.
2. Bantuan PKH untuk Pendidikan: Program Keluarga Harapan (PKH) juga memiliki komponen pendidikan. Bantuan tunai diberikan kepada keluarga penerima manakala anak-anak mereka tetap bersekolah. Besarannya mencapai Rp 900.000 per tahun untuk SD, Rp 1,5 juta untuk SMP, dan Rp 2 juta untuk SMA/SMK per anak per tahun. Bantuan ini ditujukan untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, bukan untuk membiayai pembangunan jogging track.
3. Bantuan Infrastruktur dari Pemerintah: Untuk masalah pembangunan dan renovasi infrastruktur, sekolah seharusnya mengajukan proposal kepada Dinas Pendidikan Provinsi atau kabupaten/kota. Setiap tahun, dialokasikan DAK Bidang Pendidikan yang diperuntukkan bagi rehab berat, rehab ringan, pembangunan ruang kelas baru, dan pengadaan laboratorium atau perpustakaan. Jika SMKN 1 Jombang membutuhkan jogging track atau tempat parkir baru, jalur yang tepat adalah mengajukan usulan melalui mekanisme anggaran yang resmi ini, bukan dengan meminta “partisipasi” dari orang tua.
Pada akhirnya, polemik di SMKN 1 Jombang ini adalah cerminan dari masalah klasik yang berulang: lemahnya pengawasan dan budaya “potong kompas” dalam pembiayaan pendidikan. Alih-alih menunggu proses anggaran yang mungkin berbelit, sekolah mengambil jalan pintas dengan membebankan langsung kepada orang tua.
Istilah “partisipasi” pun menjadi tersandera. Partisipasi masyarakat dalam memajukan pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran dan keikhlasan, tanpa ada embel-embel nominal yang ditetapkan paksa dan kekhawatiran akan dampak bagi anak. Partisipasi yang sejati bisa berupa tenaga, pikiran, atau dana yang sifatnya benar-benar sukarela, tanpa target, dan transparan pengelolaannya.
Para wali murid di SMKN 1 Jombang kini mungkin sedang “berpartisipasi” dengan menghela napas panjang. Mereka terjebak dalam dilema: antara ingin mendukung sekolah atau memprotes sebuah kebijakan yang dirasa tidak adil dan berpotensi melanggar aturan. Mereka membayar, tetapi dengan rasa was-was dan tanda tanya besar tentang transparansi dan akuntabilitas dana tersebut.
Klarifikasi Kepala Sekolah Abdul Muntholib belum cukup. Dinas Pendidikan setempat perlu turun tangan untuk mengaudit kebijakan ini. Apakah “dana partisipasi” ini telah memenuhi prinsip kepatuhan hukum, kesukarelaan, dan transparansi? Ataukah ini hanyalah pungutan liar yang dibungkus dengan permainan kata yang “sangat indah”?
Pendidikan memang membutuhkan gotong royong. Namun, gotong royong tidak boleh menjadi legitimasi untuk melegalkan pungutan yang membebani dan menakut-nakuti. Negara hadir untuk menjamin pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Jangan sampai “kejutan” di awal tahun ajaran ini justru menjadi pintu masuk bagi praktik-praktik pemungutan biaya pendidikan yang tidak jelas juntrungnya.
Redaksi pengawalkebijakan.id
Rilis jks