Semangat Kemerdekaan Yang Seharusnya Mempersatukan, Justru Memantik Bara Perselisihan Di Desa Pojokrejo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. 

Spread the love

Pengawalkebijakan.id , Jombang Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80 yang diwujudkan dalam agenda meriah ‘Pesta Rakyat: Pawai Budaya dan Jalan Sehat’ pada Sabtu (23/8/2025) berakhir dengan kekecewaan dan polemik mendalam bagi warga Dusun Delik, RT 001/RW 001. Kebijakan panitia yang dinilai tidak masuk akal, arogan, dan sarat kepentingan oknum, dianggap telah membelenggu semangat gotong royong dan memecah belah rasa kebangsaan di tingkat akar rumput. Jombang, 25 Agustus 2025

 

Akar konflik ini terletak pada sebuah keputusan yang bagi warga Dusun Delik terasa seperti pengucilan: larangan bagi iring-iringan pawai budaya untuk melewati wilayah mereka. Keputusan ini bukan kali pertama terjadi. Tahun sebelumnya, alasan serupa sudah diterapkan, menimbulkan bibit kecewa yang kini kembali merebak dengan intensitas lebih tinggi.

 

Bentuk kekecewaan dengan kebijakan panitia warga dsn Delik Rt,01 Rw, 01 dari finish langsung pulang tidak mau kumpul

 

Pesta Rakyat yang digelar dengan anggaran swadaya masyarakat tersebut seharusnya menjadi momen bagi seluruh warga Pojokrejo, tanpa terkecuali, untuk mengekspresikan kegembiraan. Warga Dusun Delik, yang antusias, bahkan telah mempersiapkan diri dengan mengumpulkan dana secara mandiri. Mereka menyiapkan kostum, dekorasi, dan kreasi untuk ditampilkan dalam pawai. Namun, antusiasme itu dibenturkan dengan tembok birokrasi yang kaku dan tidak jelas alasannya.

 

Awalnya, seperti diungkapkan oleh salah seorang warga yang enggan namanya dicetak, panitia beralasan bahwa desa lain juga mengadakan pawai sehingga rute Dsn Delik Rt.001 Re . 001  harus dihindari. “Sekarang alasan waktunya pendek setelah ada penekanan sebagian warga. Ganti alasan waktunya terlalu pendek khawatir tidak cukup waktunya. Kalau karena waktu kan bisa dibiarkan sampai selesai, warga tetap akan ikut sampai selesai,” ujarnya dengan nada kesal.

Jalan sehat yang dibikuti seluruh play group sekecamatan kesamben tanpa penutupan jalan masih berjalan lancar

Alasan itu pun berubah-ubah ketika mendapat tekanan. “Setelah ada penekanan, alasan berganti lagi, karena barengan desa lain ada yang pawai juga, orang yang lewat diarahkan lewat dsn Delik. Apa bedanya dengan acara gerak jalan dan acara jalan sehat yang dikuti TK  Playgroup sekecamatan kesamben juga lewat sini,  Walaupun tidak ada penutupan, pengguna jalan masih bisa jalan tanpa ada gangguan,” tambahnya.

 

Keberagaman alasan yang tidak konsisten inilah yang memicu kecurigaan warga. Mereka mulai mempertanyakan, ada apa di balik penolakan konsisten untuk mengizinkan pawai melintasi wilayah mereka yang hanya berjarak beberapa ratus meter itu? “Warga sangat curiga apakah ada sesuatu antara oknum panitia dengan warga (di wilayah lain) sampai tidak mau mengubah aturan,” ucap seorang warga lain.

 

Yang memperparah luka bukan hanya kebijakannya, tetapi cara komunikasi panitia, yang didalamnya terdapat oknum perangkat desa, dalam menanggapi keluhan warga. Bukannya mendengarkan dan mencari solusi, respons yang diterima justru bersifat menohok dan merendahkan.

 

“Yang lebih menjengkelkan, kalau didengar menurut informasi yang beredar, ada oknum perangkat desa waktu ada yang menyampaikan keluhan warga atas kebijakan aturan yang tidak memperbolehkan pawai lewat Dusun Delik RT 001, justru mendapatkan jawaban yang menohok sekali, ‘kalau tidak mau ikut ya sudah’,” cerita seorang sumber.

 

Kalimat singkat itu bagai pisau yang mengoyak semangat kebersamaan. “Kan *goblok* oknum tersebut. Bukannya mensupport justru malah menurunkan semangat warga yang antusias pingin merayakan HUT RI yang ke-80,” lanjutnya dengan suara bergetar.

 

Respons arogan tersebut dinilai sebagai puncak dari sikap yang mementingkan kuasa daripada pelayanan. Panitia, yang seharusnya menjadi fasilitator semangat masyarakat, justru bertindak seperti penguasa yang tidak mau didengar aspirasinya. “Menganggap panitia adalah yang punya kuasa dan tidak mau mengikuti saran dari warganya sendiri,” tandasnya.

 

Kekecewaan yang mendalam tidak lantas membuat warga Dusun Delik menyerah dan mematikan lampu perayaan. Sebaliknya, semangat untuk merayakan kemerdekaan justru diwujudkan dengan cara mereka sendiri: sebuah perlawanan damai yang penuh makna.

 

Alih-alih mengikuti aturan main yang mereka anggap tidak adil, warga Dusun Delik RT 001/RW 001 memutuskan untuk melanjutkan pawai budaya mereka sendiri secara mandiri. Dengan penuh semangat, mereka berkeliling di wilayah dusun mereka, menunjukkan kreasi dan kegembiraan. Yang membuat aksi ini istimewa adalah sikap kemandirian mereka dalam menyemarakkan suasana.

 

Sebagai bentuk protes halus dan kemandirian, panitia lokal warga Dusun Delik Rt 001 Rw 001 mengadakan pengundian hadiah khusus untuk peserta pawai di wilayahnya, terpisah sepenuhnya dari hadiah yang disediakan oleh panitia utama Pesta Rakyat. “Tidak perlu menunggu hadiah dari penyelenggara pawai budaya,” ujar seorang koordinator acara di Delik. Ini adalah sebuah pernyataan tegas: kebahagiaan dan semangat kemerdekaan tidak bisa dibatasi oleh aturan yang semena-mena, dan mereka mampu menciptakan kegembiraan dengan usaha sendiri.

 

Peristiwa di Pojokrejo ini lebih dari sekadar konflik soal rute pawai. Ini adalah sebuah studi kasus miniatur tentang tata kelola pemerintahan desa dan hubungan antara masyarakat dengan pemangku kebijakan.

 

Pertama, ini adalah persoalan **transparansi dan akuntabilitas**. Perubahan alasan yang terus-menerus dari panitia menimbulkan tanda tanya besar tentang motif sebenarnya. Jika alasannya teknis (waktu, lalu lintas), seharusnya bisa dibahas secara terbuka dengan warga untuk mencari solusi terbaik. Namun, ketertutupan dan keengganan untuk berdiskusi mengindikasikan adanya motif non-teknis yang disembunyikan.

 

Kedua, ini tentang **sikap aparat dan mentalitas berkuasa**. Kalimat “kalau tidak mau ikut ya sudah” adalah cerminan dari mentalitas birokrasi yang lupa diri. Ia lupa bahwa ia ada untuk melayani, bukan untuk dilayani. Dalam konteks perayaan kemerdekaan yang sarat nilai perjuangan rakyat, sikap seperti ini terasa sangat ironis dan menusuk.

 

Ketiga, peristiwa ini menunjukkan **potensi disintegrasi sosial di tingkat dasar**. Kebijakan yang seharusnya mempersatukan justru berpotensi memicu kecemburuan dan permusuhan antar-dusun atau antar-RT/RW. Isu “oknum” yang diembuskan dalam percakapan warga menunjukkan bahwa kecurigaan sudah menjalar kepada individu tertentu, yang bisa merusak kerukunan warga dalam jangka panjang.

 

Menyambut HUT RI ke-81 tahun depan, desa ini membutuhkan rekonsiliasi. Pemerintah Desa Pojokrejo perlu mengambil langkah proaktif. Pertama, dengan meminta maaf secara terbuka atas sikap oknum panitia yang tidak sopan dan tidak mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan.

 

Kedua, membentuk panitia yang lebih inklusif dan representatif untuk tahun depan, dengan melibatkan perwakilan dari setiap dusun dan RT sejak fase perencanaan. Dengan demikian, keputusan tentang rute, waktu, dan format acara dapat diambil bersama, sehingga tidak lagi menimbulkan rasa dikucilkan.

 

Ketiga, membuka evaluasi terbuka terhadap penyelenggaraan Pesta Rakyat 2025. Dialog ini penting untuk mengurai benang kusut yang terjadi, mendengarkan semua keluhan, dan bersama-sama merancang acara yang benar-benar untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali.

 

Perayaan kemerdekaan sejatinya adalah tentang membebaskan semangat rakyat untuk bergembira, berkarya, dan mengenang jasa pahlawan dengan sukacita. Bukan dengan membungkamnya dengan aturan yang kaku dan sikap yang arogan. Kisah dari Dusun Delik, Pojokrejo, adalah pengingat bagi kita semua bahwa kadang, musuh terbesar dari semangat kemerdekaan justru datang dari sikap kita sendiri yang lupa akan makna dari kata ‘merdeka’ itu sendiri: bersatu, berdaulat, dan adil.

 

Redaksi pengawalkebijakan.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *